Kerajaan Gowa Tallo (Makassar)
2.1 Letak
Geografis Kerajaan Gowa-Tallo
Kesultanan Gowa dan Tallo atau kadang ditulis Goa
atau sering disebut kesultanan Makassar, adalah salah satu kerajaan besar dan
paling sukses yang terdapat di daerah Sulawesi Selatan
(Id.Wikipedia)
Secara geografis, Sulawesi Selatan memiliki posisi
yang penting karena terletak di jalur pelayaran perdagangan Nusantara. Bahkan
daerah Makassar menjadi pusat persinggahan para pedagang baik dari Indonesia
bagian timur maupun para pedagang dari Indonesia bagian barat. Dengan posisi
letak seperti ini mengakibatkan Kerajaan Makassar menjadi Kerajaan besar dan
berkuasa atas jalur perdagangan Nusantara. (Poesponegoro, Marwati
Djoened & Notosusanto, Nugroho. (1993). Sejarah Nasional Indonesia III.
Jakarta: Balai Pustaka).
Dari
kedua keterangan tersebut dapat ditarik kesimpulan bahwa kerajaan Gowa dan
Tallo ini berada pada wilayah strategis, karena pada masa itu terjadi ramai
sekali perdagangan internasional di wilayah tersebut hingga pantas saja hal ini
yang membuat bangsa-banga eropa ingin menundukkan wilayah kerajaan ini.
Selain
dengan wilayahnya yang strategis daerah kerajaan ini memiliki sesuatu yang
sangat berharga yakni barang
komoditasnya sendiri, dapat diketahui bahwa barang komoditinya ialah beras
putih, bahan makanan lainnya, daging dan juga kapur barus hitam [Poesponegoro,
2010:78]. Namun meskipun demikian daerah kerajaan ini lebih terkenal karena
dijadikan sebagai pleabuhan transit perdagangan antara Indonesia bagian barat
dengan Indonesia bagian timur.
2.2 Penyatuan
Kerajaan Gowa dan Tallo dan Sebelum Islamisasi
Sebagaimana kita tahu Gowa-Tallo mendapatkan islam
yakni pada awal abad ke-17 dimana islam dibawa oleh Datu Ri’ Bandang, sehingga
sedikit sekali informasi pada abad sebelumnya yang berbahasa daerah atau melayu
yang bisa didapatkan mengenai perjalanan sejarah kerajaan kembar ini, dan
kebanyakan berbahasa spanyol dan portugis.
Kondisi sosial masyarakat pada kala itu terdiri dari
beberapa daerah yang berasal dari dua suku besar di Makassar yakni suku Bugis
dan suku Makassar,. Kedua suku bangsa ini sangat terkenal karena reputasi
mereka sebagai prajurit-prajurit yang paling ditakuti di Nusantara. Mereka juga
prajurit-prajurit yang paling professional. Terdapat naskah-naskah yang memuat
terjemahan karangan-karangan berbahasa spanyol dan portugis mengenai pembutan
dan penggunaan meriam kedalam bahasa Makassar dan Bugis, tidak ada satupun
terjemahan semacam itu dalam bahasa-bahasa Indonesia lainnya. (Ricklefs, 2009 :
97)
Gowa dan Tallo sendiri merupakan kerajaan dibawah
suku Makassar, sedangkan dibawah suku Bugis ialah Bone, Luwu, Sopeng, dan Wajo.
Kerajaan-kerajaan tersebut selalu berebut memperebutkan hegemoni di sekitar
daerah Sulawesi selatan. Namun perjalanan sejarah sebelum masuknya islam ke
Sulawesi, setidaknya ada satu kerajaan besar yang berasal dari suku Bugis yaitu
kerajaan Luwu.
Menurut www.sulsel.go.id Berbicara
mengenai Sulawesi Selatan khususnya, maka sulit untuk tidak mengenang kerajaan
Luwu dan tokoh-tokohnya. Sebab dari sinilah, lahir propinsi Sulawesi Selatan
kelak. Bahkan termasuk beberapa daerah yang kini tidak berada dalam wilayah
Sulawesi Selatan (Luwu), di zaman dahulu termasuk wilayah Sulawesi Selatan
(Luwu). Demikianlah kenyataan sejarah yang melansir bahwa cikal bakal Sulawesi
Selatan dan perdaban manusia bermula dari mitologi masyarakat tentang La Tongeq
Langiq atau yang lebih dikenal dengan nama Batara Guru yang diturunkan ke Dunia
Tengah tepatnya di Wotu Kabupaten Luwu Timur. Benar atau tidak, hal ini telah
terintegrasikan dalam konsepsi masyarakat pendukungnya. Termasuk tata cara
pemerintahan hadat wotu yang sudah menyerupakan sebuah negara (Kingdom).
Kerajaan
Luwu dikenal sebagai kerajaan tertua di Sulawesi Selatan, bahkan di Indonesia
Timur. Tokoh Batara Guru sendiri yang dikenal sebagai manusia pertama dalam
wilayah kesadaran manusia Bugis diinformasikan melalui Sureq Galigo. Ia
dturunkan dari Boting langiq untuk menyemarakkan Ale Kawaq (bumi) yang masih
kosong.
Perjalanan
sejarah kerajaan Luwu berakhir pada awal abad ke-16, tepatnya pada tahun 1509,
Luwu kalah telak dari kerajaan saingan Bugis, yaitu Bone. Dan sekitar tahun
1530, Gowa, Negara suku bangsa Makassar, mulai memperluas kekuasaannya ke
wilayah-wilayah tetangga melalui penaklukkan. (Recklafe, 2009 : 97-98)
Mungkin masih sedikit dari kita yang mengetahui
bahwasannya kerajaan Gowa dan Tallo ini awalnya merupakan kerajaan yang
terpisah, namun dengan jarak yang dekat dan juga perubahan-perubahan politik
yang terjadi di sekitar lingkungan kerajaan maka kedua kerajaan ini bersatu.
Menurut www.sulsel.go.id Tumapa`risi`
Kallonna memerintah pada abad ke-16, pada masa itu seorang penjelajah Portugis
berkomentar bahwa “daerah Makassar sangatlah kecil”. Dengan melakukan
perombakan besar-besaran di Kerajaan, Tumapa’risi’ Kallonna mengubah daerah
Makassar dari sebuah konfederasi antar komunitas yang longgar menjadi sebuah
Negara kesatuan Gowa. Dia juga mengatur penyatuan Gowa dan Tallo kemudian
merekatkannya dengan sebuah sumpah yang menyatakan bahwa apa saja yang mencoba
membuat mereka saling melawan (Ampasiewai) akan mendapat hukuman dewata.
Dengan demikianlah kedua kerajaan ini dapat bersatu.
Mengenai pemerintahannya sendiri dapat diketahui
dari buku karya M. C Ricklefs yakni “Sejarah
Indonesia Modern 1200-2008” halaman 131 yang berisi Gowa memiliki sebuah
system wewenang ganda yang timbul akibat aliansi politik antara kesultanan Gowa
dan Tallo pada pertengahan abad XVI. Sultan-sultan berasal daro garis keturunan
Gowa, sementara perdana menterinya berasal dari garis Tallo.
2.3 Islamisasi
Kerajaan Gowa dan Tallo
Di
Sulawesi Selatan dapat diperkirakan Islamisasi dimulai oleh kalangan social
para pedagang. Para pedagang dari daerah ini telah berlayar di seluruh
Nusantara dan mereka banyak berhubungan dengan para pedagang muslim, sehingga
dapat diperkirakan dari pedagang Bugis dan Makassar lebih dahulu masuk Islam
daripada Rajanya.
Menurut
sumber tradisional berupa kronil Tallo, Islamisasi di Makassar berawal ketika
Mangkubumi Gowa, yakni Raja Tallo, I Malingkaang Daeng Nyonri, tertarik pada
agama Kristen Katolik yang dianut orang Portugis dan agama Islam pada
orang-orang Melayu. Untuk itu, I Malingkaang mengunjungi Arung Matoa Wajo, La
Mangkatye, membicarakan dan membandingkan persoalan-persoalan ketauhidan antar
agama Kristen dan Islam. Oleh karena itu, tidak puas dengan penjelasan La
Mangkatye, yang bukan muslim, maka ia berketetapan untuk mengundang Mubaligh
yang tersohor pada masa itu yaitu Dato` Ri Bandang/Datuk Ribandang seorang
Minangkabau dari Kota Tengah. Dato` Ri Bandang yang juga bernama Khatib Tunggal
Abdul Makmur datang bersama dengan Khatib Sulaiman (Dato` Patimang) dan Khatib
Bungsu (Dato` ri Tiro/di Tiro), maka Islamisasi mulai dilakukan di Kerajaan
Tallo.
Ketika
raja Luwu, La Patiware Daeng Parabung telah memeluk Islam pada tahun 1603, yang
bergelar Sultan Muhammad – merasa tidak mampu mendukung penyiaran agama Islam,
kemudian ketiga Mubaligh itu berpisah dan membagi tugas masing-masing, Dato` Ri
Bandang kembali ke Gowa-Tallo, Dato` Ri Tiro/Di Tiro ke Bulukumba dan Datu
Sulaeman tetap di Luwu. Demikian akhirnya Mangkubumi Gowa masuk Islam yang
kemudian diikuti oleh Raja Gowa I Mangerangi Daerang Manrabbia yang bergelar
Sultan Alauddin.
Setelah
Gowa-Tallo beragama Islam, maka aktifitas Islamisasi sepenuhnya didukung oleh
agama. Seruan Raja Gowa agar Kerajaan-kerajaan tetangganya masuk Islam diterima
dengan baik oleh Raja Sawitto dan juga oleh Raja Siang, Tanatte dan Suppa yang
sebelumnya telah menganut agama Kristen. Namun, seruan Raja Gowa ditolak oleh
Raja-raja yang tergabung dalam persekutuan Tellumpocoe yaitu Bone, Wajo dan
Soppeng. Penolakan ini memberi peluang bagi Raja Gowa untuk melaksanakan
ekspansinya dalam rangka mewujudkan kesatuan poltik Sulawesi yang talah dimulai
oleh Tumapa`Risi` Kallonna pada awal abad ke-16. Penaklukkan atas
Kerajaan-kerajaan di Sulawesi Selatan dilakukan untuk menyebarluaskan agama
Islam. Dalam proses ini, orang-orang Melayu selain terlibat upaya pembangunan
kerajaan, juga terlibat dalam operasi militer. Lawan-lawan Kerajaan Gowa pun
dapat dikalahkan, Sidenreng dan Soppeng (1609), Wajo (1610), dan Bone (1611).
Keberhasilan ini banyak didukung oleh kenyataan bahwa sebagian dari
rakyat-rakyat kerajaan-kerajaan lawannya telah masuk Islam, sehingga tidak
memberi dukungan kepada rajanya dalam berbagai pertempuran. Orang-orang Islam
itu biasanya adalah para pedagang yang memiliki loyalitas kepada orang-orang
Islam lainnya daripada kepada rajanya.
Daya tarik
Islam dibandingkan dengan kepercayaan tradisional adalah karena keunggulannya
dalam konsep nilai-nilai social yang lebih manusiawi dan demokratis serta rasional.
Islam menempatkan individu pada kedudukan dan martabat yang sama. Raja
menempati posisi yang sederajat dengan rakyatnya. Islam pula mengalami
Sinkretisme dengan kepercayaan tradisional.
Agama
Islam sudah sampai di Makassar, sejak raja Gowa X yang bernama Tunipalangga
(1546-1565), yaitu ketika baginda memberi izin kepada pedagang-pedagang melayu
dengan perantara nahkoda Bonang, untuk menetap di Mangalekana (SombaOpu). Raja
Gowa ke-12 yang bernama Tunijallo telah mendirikan sebuah mesjid (1565-1590) bagi
orang-orang Islam di Mangalekana. Dr. J. Noorduyn berpendapat bahwa pertengahan
abad XVI agama Islam maupun agama Kristen sudah sampai ke Sulawesi Selatan.
Tetapi penyebaran agama katolik sesudah itu tidak diteruskan lagi oleh Portugis
sehingga pengaruhnya hilang lagi, dan pada zaman itu belum juga ada orang Bugis
Makassar masuk Islam.
Raja Gowa
dan Tallo menerima Islam dengan resmi sebagai agamanya menurut Lontara Gowa
Tallo, ialah pada malam jumat tanggal 9 jumadil awal 1014 H atau tanggal 22
September 1605 M. dinyatakan bahwa Mangkubumi Kerajaan Gowa/Raja Talloi I
Malingkaeng Daeng Manyonri mula-mula menerima dan mengucapkan kalimat syahadat
dan sesudah itu barulah raja Gowa ke-14 Mangarai Daeng Manrabbia.
Dua tahun
kemudian, seluruh rakyat Gowa dan Tallo dinyatakan memeluk agama Islam, dengan
upacara sembahyang Jumat bersama yang pertama di mesjid Tallo. Setelah Kerajaan
Gowa-Tallo menjadikan Islam sebagai agama resmi Kerajaan, maka timbullah hasrat
sesuai dengan tuntutan syariat Islam yang diterimanya sebagai kebenaran yang
harus disebarkan ke seluruh pelosok negeri, Kerajaan-Kerajaan tetangga dan
raja-raja negeri sahabat. Dengan demikian maka Makassar mendapat kehormatan
menjadi pusat penyebaran Islam di Sulawesi Selatan pada permulaan abad XVII.
Kemudian, Buya Hamka dalam
tulisannya yang berjudul “Kebudayaan dan perjuangan Kemerdekaan Indonesia di
Aceh” antara lain menulis “Mubaligh Islam yang bertiga dari Minangkabauke
Makassar (Ujung Pandang) yaitu Datuk Ritiro, Datuk Ribandang, Datuk Patimang,
berangkat dari Pesisir Minangkabau adalah atas persetujuan dari Aceh. Sebab
pesisir Pariaman di awal abad XVII masih di bawah Aceh. Hal ini memperkuat
Kerajaan Gowa-Tallo menerima pengaruh Islam terutama pihak kerajaan yaitu
Sultan Alauddin yang merupakan Raja Gowa-Tallo pertama yang memeluk Islam
ketika Datuk Ribandang mendatangi wilayah Makassar.
Di abad XVIII, Perkembangan agama
Islam di Sulawesi Selatan didominasi oleh ajaran-ajaran Syekh Yusuf, bangsawan
Gowa yang pernah menjabat menjadi Mufti besar di Kerajaan Banten. Syekh Yusuf
sendiri meninggalkan Gowa pada tahun 1644, pada usia 18 tahun, dengan restu
Sultan Gowa, Malikus Said. Syekh Yusuf menguasai 16 tarekat dan dia diberi
gelar oleh gurunya sebagai Tajul Khalwati Hidayatullah.
2.4 Aspek
Politik
Raja-raja yang pernah memerintah
Kerajaan Gowa-Tallo dalam makalah ini dimulai dari Raja/Sultan pertama yang
memeluk Islam pertama kali. Berikut adalah daftar raja-raja yang memerintah
Kerajaan Gowa-Tallo untuk raja yang dicetak tebal merupakan raja yang lebih berpengaruh
daripada raja yang lain.
1. I Mangari Daeng Manrabbia Sultan Alauddin Tuminanga ri
Gaukanna (berkuasa dari tahun 1593-15 juni 1639 – wafat)
2. I Mannuntungi Daeng Mattola Karaeng Lakiyung Sultan
Malikussaid Tuminanga ri Papang Batuna (lahir 11 Desember 1605, memerintah
1639-wafat 6 November 1653)
3. I Mallombassi Daeng Mattawang Karaeng Bonto Mangape
Sultan Hasanuddin Tuminanga ri Balla`pangkana (lahir 31 Maret 1656, berkuasa
1653-1669, & wafat 12 Juni 1670)
4. I Mappasomba Daeng Mattimung Nguraga Sultan Amir Hamzah
Tuminanga ri Allu` (lahir 31 Maret 1656, memerintah 1669-1674, wafat 7 Mei
1681)
4.1 I Mallawakkang Daeng
Matinri Karaeng Kanjilo Tuminanga ri Passiringana
5. Sultan Mohammad Ali (Karaeng Bisei) Tumenanga ri
Jakattara (lahir 29 November 1654, memerintah 1674-1677, wafat 15 Agustus 1681)
6. I Mappadulu Daeng Mattimung Karaeng Sanrobone Sultan
Abdul Jalil Tuminanga ri Lakiyung (1677-1709)
7. La Pareppa Tosappe Wali Sultan Ismail Tuminanga ri
SombaOpu (1709-1711)
8. I Mappaurangi Sultan Sirajuddin Tuminang ri Pasi
9. I Manrabia Sultan Najamuddin
10. I Mappaurangi Sultan Sirajuddin Tuminang ri Pasi
(menjabat untuk kedua kalinya tahun 1735)
11. I Mallawagau Sultan Abdul Chair (1735-1742)
12. I Mappibabasa Sultan Abdul Kudus (1742-1753)
13. Amas Madina Batara Gowa (diasingkan oleh Belanda ke Sri
Lanka) (1747-1795)
14. I Mallisujawa Daeng Riboko Arungmampu Tuminanga ri
Tompobalang (1767-1769)
15. I Temmasongeng Karaeng Katanka Sultan Zainuddin
Tuminanga ri Mattanging (1767-1769)
16. I Manawari Karaeng Bontolangkasa (1778-1810)
17. I Mappatunru / I Mangijarang Karaeng Lembang Parang
Tuminang ri Katangka (1816-1825)
18. La Oddanriu Karaeng Katangka Tuminanga ri Suangga
(1825-1826)
19. I Kumala Karaeng Lembang Parang Sultan Abdul Kadir Moh.
Aidid Tuminanga ri Kakuasanna (1826-wafat 30 Januari 1893)
20. I Malingkaan Daeng Nyonri Karaeng Katangka Sultan Idris
Tuminanga ri Kakuasanna (1893-wafat 18 Mei 1895)
21. I Makkulau Daeng Serang Karaeng Lembangparang Sultan
Husain Tuminang ri Bundu`na (memerintah sejak 18 Mei 1895, dimahkotai di
Makassar pada 5 Desember 1895, ia melakukan perlawanan terhadap Hindia-Belanda
pada 19 Oktober 1905 dan diberhentikan paksa oleh pemerintah Hindia-Belanda
pada 13 April 1906. Beliau wafat akibat terjatuh di Bundukma, dekat Enrekang
pada 25 Desember 1906)
22. I Mangimangi Daeng Matutu Karaeng Bonto Nompo Sultan
Muhammad Tahur Muhibuddin Tuminanga ri Sangguminasa (1936-1946)
23. Andi Ijo Daeng Mattawang Karaeng Lalolang Sultan
Muhammad Abdul Kadir Aidudin (1956-1960) (merupakan Raja Gowa terakhir,
meninggal di Jongaya pada tahun 1978)
24. Andi Kumala Karaeng Sila (lahir tahun 1959 –
menggantikan ayahnya sebagai Kepala Rumah Tangga Kerajaan Gowa pada tahun 1978)
Selain nama-nama Raja yang memerintah di atas, makalah ini
pula menyajikan beberapa kisah mengenai Sultan Alauddin, Hasanuddin, Mapasomba
dan Tunipalangga. Raja-raja tersebut karena tindakan dan sumber-sumber
informasi yang didapat.
2.4.1 Sultan Alauddin
Pada abad ke-17 M, agama Islam berkembang cukup pesat di
Sulawesi Selatan. Raja pertama Makassar yang memeluk agama Islam adalah Raja
Alauddin yang memerintah Makassar dari tahun 1591-1638 M. Dibawah
pemerintahannya Kerajaan Makassar mulai terjun dalam dunia pelayaran dan
perdagangan (dunia maritim). Perkembangan ini menyebabkan meningkatnya
kesejahteraan rakyat Kerajaan Makassar. Tetapi, setelah wafatnya raja Alauddin,
keadaan pemerintahan tidak diketahui dengan pasti.
2.4.2 Sultan Hasanuddin
Pada masa
pemerintahan Sultan Hasanuddin, Kerajaan Makassar mencapai masa kejayaannya.
Dalam waktu yang cukup singkat, Kerajaan Makassar telah berhasil menguasai
seluruh Sulawesi Selatan. Cita-cita sultan Hasanuddin untuk menguasai
sepenuhnya jalur perdagangan Nusantara mendorong perluasan kekuasaannya ke
wilayah kepualauan Nusa tenggara seperti Sumbawa dan sebagian Flores. Dengan
demikian seluruh aktifitas pelayaran perdagangan yang melelui laut flores harus
singgah dulu di ibu kota Kerajaan Makassar.
Keadaan
seperti itu ditentang oleh Belanda yang mempunyai daerah kekuasaan di maluku
dengan pusatnya di Ambon. Hubungan Batavia dengan Ambon terhalang oleh
kekuasaan Kerajaan Makassar. Pertentangan antara Makassar dengan Belanda sering
menimbulkan peperangan. Keberanian Sultan Hasanuddin memimpin pasukan Kerajaan
Makassar untuk memporak-porandakan pasukan Belanda di Maluku mengakibatkan
Belanda semakin terdesak. Atas keberaniannya, Belanda memberi julukan kepada
Sultan Hasanuddin dengan sebutan Ayam jantan dari Timur.
Dalam upaya menguasai Kerajaan Makassar, Belanda menjalin
hubungan dengan Raja Bone, yaitu Arung Palaka. Dengan bantuan Arung Palaka,
pasukan Belanda berhasil mendesak Kerajaan Makassar dan menguasai Ibukota
Kerajaan. Akhirnya dilanjutkan dengan Perjanjian Bongaya (1667 M)
2.4.3 Mapasomba
Setelah Sultan Hasanuddin turun tahta, ia digantikan oleh
puteranya yang bernama Mapasomba. Sultan Hasanuddin sangat berharap agar
Mapasomba dapat bekerjasama dengan Belanda. Tujuannya agar Kerajaan Makassar dapat
terus bertahan. Ternyata Mapasomba jauh lebih keras dari ayahnya, akibatnya
Belanda mengerahkan pasukan secara besar-besaran untuk menghadapi Mapasomba.
Pasukan Mapasomba dapat dilkalahkan dan akhirnya Belanda berkuasa sepenuhnya
atas Kerajaan Makassar.
2.4.4 Tunipalangga
Tunipalangga dikenang karena
sejumlah pencapaiannya, seperti:
1. Menaklukkan dan menjadikan bawahan
Bajeng, Lengkese, Polombangkeng, Lamuru, Soppeng dan berbagai Negara/Kerajaan
kecil.
2. Orang pertama kali yang membawa
orang-orang Sawitto, Suppa dan Bacukiki ke Gowa.
3. Menciptakan jabatan
Tumakkajananngang.
4. Menciptakan jabatan tumailalang
untuk menangani administrasi internal.
5. Menciptakan system resmi ukuran
berat dan pengukuran.
6. Pertama kali memasang meriam yang
diletakan di benteng-benteng besar.
7. Pemerintah pertama ketika orang
Makassar mulai membuat peluru, mencampur logam dan membuat batu bara.
8. Pertama kali membuat dinding batu
bata mengelilingi pemukiman Gowa dan SombaOpu.
9. Penguasa pertama yang didatangi oleh
orang asing (melayu).
10. Yang pertama membuat perisai besar
menjadi kecil, memendekkan gagang tombak dan membuat peluru Palembang.
11. Penguasa pertama yang meminta tenaga
lebih dari rakyatnya.
12. Penyusun siasat perang yang cerdas,
seorang pekerja keras, seorang narasumber, kaya dan sangat berani.
2.5 Aspek
Perekonomian
Sistem perkonomian Indonesia, terutama pada saat
Islam berkembang menjadi lebih maju. Perdagangan antar pulau pun makin pesat,
ditandakan dengan salah satu nya yaitu berdirinya kerajaan-kerajaan bercorak
Islam di Nusantara. Salah satunya adalah kerajaan Gowa-Tallo.
Islam mulai berhasil masuk di Gowa-Tallo pada saat
Dato’ri Bandang yang berasal dari Melayu datang ke wilayah tersebut. Sultan
Alaudin (1591-1638) merupakan raja pertama yang memeluk agama Islam.
Kerajaan Gowa-Tallo ini terletak di semenanjung
barat daya pulau Sulawesi [Poesponegoro,
1993:39]. Perdagangan antara Malaka dengan Makassar pada abad 16 sudah ramai,
bahkan diketahui sebelum Islam datang, Makassar telah melakukan hubungan
perdagangan dengan Malaka, Kalimantan dan Siam,
maka agama Islam dengan mudah juga tersebar di Gowa-Tallo. Makassar
sebetulnya adalah kotanya, sedangkan Gowa-Tallo nama-nama kerajaannya.
[Poesponegoro, 1993:39].
Untuk barang komoditasnya sendiri, dapat diketahui
bahwa barang komoditinya ialah beras putih, bahan makanan lainnya, daging dan
juga kapur barus hitam [Poesponegoro, 2010:78].
Namun kerajaan ini lebih
terkenal sebagai pelabuhan transito atau pelabuhan pemberhentian. Disini banyak
pedagang-pedagang yang datang dari Barat ke Maluku yang singgah untuk mengisi
perbekalan dalam perjalanan berikutnya. Kerajaan ini kemudian menjadi penting
karna terdapat rempah-rempah dari Maluku yang diambil orang-orang Makasar dari
daerah tersebut [Poesponegoro, 1993:40].
Diketahui pula bahwa menurut Prof. Burger, jika
adanya perhubungan perniagaan kembali antara Eropa Barat dan Asia menyebabkan
produksi rempah-rempah di Indonesia maju [Burger, 1965:37]. Hal ini dapat diterima
mengingat komoditas utama yang menjadi barang komoditi bangsa Eropa adalah
rempah-rempah.
Jadi dapat
diinterpretasikan bahwa kerajaan Gowa-Tallo yang dahulunya pelabuhannya
digunakan hanya untuk sebagai tempat mengisi perbekalan kapal untuk perjalanan
berikutnya, menjadi lebih berkembang sebagai pelabuhan yang menjual
rempah-rempah yang beraal dari Maluku, sehingga arus perdagangan pun menjadi
lebih ramai dari sebelumnya.
Kerajaan Gowa-Tallo juga memasok barang dagangan
dari luar, antara lain jenis pakaian dari Cambay, Bengal dan Keling. Lalu
mengingat jaringan perdagangan dengan Cina sudah lama, barang-barang berupa
keramik pun diimpor, dan hal ini dibuktikan dari banyaknya temuan keramik dari
masa Dinasti Sung dan Ming dari daerah Sulawesi Selatan [Poesponegoro,
2010:78]. Selain mengekspor barang, kerajaan Gowa-Tallo pun aktif dalam
mengekspor barang komoditi dari wilayah lain.
Karna kerajaan Gowa-Tallo mendapatkan kekayaan dari
pelabuhan transitonya dan didukung pula perdagangan yang semakin ramai dan
sempat menjadi pelabuhan transito terbesar di Nusantara, kerajaan Gowa-Tallo
pun sempat melakukan ekspansi ke daerah lain dengan bermodalkan kekayaan yang
sempat diperoleh. Untuk beberapa waktu, kerajaan Gowa mendapat upeti dari Solor
ynag sebenarnya adalah daerah pengaruh kekuasaan kerajaan Ternate
[Poesponegoro, 1993:41].
Jadi, dapat disimpulkan bahwa corak sistem
perkonomian dari kerajaan Gowa-Tallo yang paling dominannya adalah sektor
perdagangan yang ditunjang oleh pelabuhan yang dijadikan tempat ekspor maupun
impor, tempat pemberhentian kapal untuk mengisi perbekalan, dan juga tempat
rempah-rempah dari Maluku dijual.
Lalu
menurut interpretasi saya, tentu dengan adanya pelabuhan transit, otomatis
kerajaan pun menerapkan sisitem pajak terhadap kapal yang merapat di pelabuhan
sehingga dapat menjadi salah satu sumber pendapatan kerajaan disamping sektor
perdagangan. Dan kerajaan Gowa-Tallo pun sempat menerima upeti dari wilayah
lain sebagai akibat dari ekspansi yang pernah dijalankan.
2.6 Aspek
Sosial dan Budaya
Daerah Makassar baru masuk Islam pada abad ke-17 M
yaitu ketika tahun 1605 kedua penguasa dari Kerajaan kembar Gowa dan Tallo
memeluk agama Islam. Raja Gowa, Daeng Manrabia bergelar Sultan Alauddin dan
Raja Tallo, Karaeng Mantoaya bergelar Sultan Abdullah dengan julukan awalul
Islam. Dwi tunggal, Alauddin dan Abdullah sangat giat mengIslamkan rakyat
mereka. Aktivitas kehidupan masyarakat diatur menurut syariat dan sumber-sumber
Islam serta hukum Islam.
Kerajaan
Gowa-Tallo yang merupakan kerajaan kembar yang kelak menjadi Makassar
sebenarnya merupakan dua Kerajaan yang letaknya berdekatan malah sampai-sampai
disebut Kerajaan kembar memiliki Raja/Sultan yang berasal dari Gowa dan seorang
Perdana Menteri (Mangkubumi) yang berasal dari Tallo dan beribukota di SombaOpu
Sebagai negara Maritim, maka sebagian besar masyarakat Makasar adalah
nelayan dan pedagang. Mereka giat berusaha untuk meningkatkan taraf
kehidupannya, bahkan tidak jarang dari mereka yang merantau untuk menambah
kemakmuran hidupnya. Walaupun masyarakat Makasar memiliki kebebasan
untuk berusaha dalam mencapai kesejahteraan hidupnya, tetapi dalam kehidupannya
mereka sangat terikat dengan norma adat yang mereka anggap sakral. Norma
kehidupan masyarakat Makasar diatur berdasarkan adat dan agama Islam yang
disebut PANGADAKKANG. Dan masyarakat Makasar sangat percaya terhadap
norma-norma tersebut.Di samping norma tersebut, masyarakat Makasar juga
mengenal pelapisan sosial yang terdiri dari lapisan atas yang merupakan
golongan bangsawan dan keluarganya disebut dengan “Anakarung/Karaeng”,
sedangkan rakyat kebanyakan disebut “to Maradeka” dan masyarakat
lapisan bawah yaitu para hamba-sahaya disebut dengan golongan “Ata”. Dari
segi kebudayaan, maka masyarakat Makasar banyak menghasilkan benda-benda budaya
yang berkaitan dengan dunia pelayaran. Mereka terkenal sebagai pembuat kapal.
Jenis kapal yang dibuat oleh orang Makasar dikenal dengan nama Pinisi dan
Lombo.Kapal Pinisi dan Lombo merupakan kebanggaan rakyat Makasar dan terkenal
sampai mancanegara.
2.7 Keruntuhan
Kerajaan Gowa dan Tallo
Peperangan demi peperangan melawan Belanda dan bangsanya sendiri (Bone)
yang dialami Gowa, membuat banyak kerugian. Kerugian itu sedikit banyaknya
membawa pengaruh terhadap perekonomian Gowa. Sejak kekalahan Gowa dengan Belanda
terutama setelah hancurnya benteng Somba Opu, maka sejak itu pula keagungan
Gowa yang sudah berlangsung berabad-abad lamanya akhirnya mengalami kemunduran.
Akibat perjanjian Bongaya, pada tahun 1667 sultan Hasanuddin Tunduk. Dalam
perjanjian itu, nyatalah kekalahan Makassar. Pardagangannya telah habis dan
negeri-negeri yang ditaklukkannya harus dilepaskan. Apalagi sejak Aru Palakka
menaklukkan hampir seluruh daratan Sulawesi Selatan dan berkedudukan di
Makassar, maka banyak orang Bugis yang pindah di Makassar. Sejak itu pula
penjajahan Belanda mulai tertanam secara penuh di Indonesia.
Makassar, sebagai ibukota kerajaan Gowa mengalami pengalihan-pengalihan
baik dari segi penguasaan maupun perkembangan-perkembangannya. Pengaruh
kekuasaan gowa makin lama makin tidak terasa di kalangan penduduk Makassar yang
kebanyakan pengikut Aru Palaka dan Belanda. Benteng Somba Opu yang selama ini
menjadi pusat politik menjadi kosong dan sepi. Pemerintahan kerajaan Gowa yang
telah mengundurkan diri dari Makassar ( yang berada dalam masa peralihan) ke
Kale Gowa dan Maccini Sombala tidak dapat dalam waktu yang cepat memulihkan
diri untuk menciptakan stabilitas dalam negeri. Namun demikian Sultan
Hasanuddin telah menunjukkan perjuangannya yang begitu gigih untuk membela tanah
air dari cengkraman penjajah.
Demikian Gowa telah mengalami pasang surut dalam perkembangan sejak Raja
Gowa pertama, Tumanurung (abad 13) hingga mencapai puncak keemasannya pada abad
XVIII kemudian sampai mengalami transisi setelah bertahun-tahun berjuang
menghadapi penjajahan. Dalam pada itu, sistem pemerintahanpun mengalami
transisi di masa Raja Gowa XXXVI Andi Idjo Karaeng Lalolang, setelah menjadi
bagian Republik Indonesia yang merdeka dan bersatu, berubah bentuk dari
kerajaan menjadi daerah tingkat II Otonom. Sehingga dengan perubahan tersebut,
Andi Idjo pun tercatat dalam sejarah sebagai Raja Gowa terakhir dan sekaligus
Bupati Gowa pertama.
DAFTAR
PUSTAKA
Sumber Buku :
Poesponegoro,
Marwati Djoened dan Nugroho Notosusanto. 2010. Sejarah Nasional Indonesia III : Zaman Pertumbuhan dan Perkembangan Kerajaan-kerajaan Islam di Indonesia.
Jakarta : Balai Pustaka.
Poesponegoro,
Marwati Djoened dan Nugroho Notosusanto. 1993. Sejarah Nasional Indonesia III : Zaman Pertumbuhan dan Perkembangan Kerajaan-kerajaan Islam di Indonesia.
Jakarta : Balai Pustaka.
Burger, D.H. 1956. Sejarah Ekonomis Sosiologis Indonesia. Jakarta : Pradnjaparamita.
Rickelfs, M.C. 2009. Sejarah Indonesia Modern 1200-2008. Jakarta : Serambi
Sumber
Online :
Tn.
(2013). Kesultanan Gowa [Online].
Tersedia http://id.wikipedia.org/wiki/Kesultanan_Gowa, [Diakses 27 April 2014]
Maman,
Ade. (2007). Sejarah Perkembangan Islam
di Nusantara [Online]. http://ademamansejarah.webs.com/sni2.htm,[diakses 27 April 2014]
diakses pada
28-05-2014
http://Sulsel.go.id, diakses 28-05-2014
Latihan
1. Jelaskan
letak georgafis kesultanan Gowa & Tallo, serta hubungkan dengan jalur perdagangan
kala itu?
2. Jelaskan
proses Islamisasi (pengislaman) di kerajaan Gowa & Tallo?
3. Jelaskan
aspek perkembangan Ekonomi kesultanan Gowa & Tallo?
4. Jelaskan
aspek Sosial dan Budaya kesultanan Gowa & Tallo?
5. Jelaskan
secara singkat keruntuhan kesultanan Gowa Tallo?